Hari-hari dalam minggu ini, saya disibukkan dengan permintaan
stempel (pengesahan) Reading Passport dan tanda tangan lembar persyaratan
mengikuti PAS (Penilaian Akhir Semester). Semacam orang pentinglah minggu ini…😎
Sepintas memberi stempel buku Reading Passport seperti pekerjaan sepele yang
bisa dilakukan oleh siapa saja. But I take it seriously. Reading passport ini
merupakan perwujudan target membaca yang harus dicapai siswa di sekolah kami
dalam satu semester. Tidak banyak, hanya 5 buku yang minimal harus dibaca dan
dibuatkan reviewnya. Tapi biasalah anak2, segala sesuatunya baru dikerjakan di
akhir waktu (kayak saya juga sih…😄). Jadi mereka seperti orang yang sibuk
mengerjakan banyak hal (tugas2) agar bisa dapat kartu peserta PAS. Membuat review pun banyak yang dilakukan asal-asalan, sekedar menggugurkan kewajiban.
Tahun ini, saya menolak beberapa review yang dibuat terlalu asal-asalan.
Ada review yang hanya dibuat dengan satu kata: Mantul. Ada review yang
tulisannya tak terbaca. Ada yang sepertinya sampai ¼ halaman tapi sebenarnya
tulisannya saja yang dibuat besar-besar. Tapi ada pula yang membuatnya dalam 1 halaman penuh dengan
tulisan yang kecil-kecil pula. Kelas 7 masih banyak yang mengikuti permintaan
saya untuk menggunakan teknik Fishbone dan paragraf AIH dalam penulisan review
nya.
Beberapa siswa yang saya tahu pembaca buku beneran (agak
addict reader) , juga ternyata tidak bisa membuat review buku sesuai harapan.
Ada yang bilang tidak tahu bagaimana caranya, ada yang simply too lazy to do
it. Atau menganggapnya tidak penting. Ada
siswa yang saya tahu mampu membaca novel seri berbahasa Inggris, seluruh seri
(10 jilid), tapi ternyata hanya membuat review dengan beberapa kata saja.
Saya sungguh prihatin. Apalagi saat ini juga sedang hangat
dibicarakan hasil PISA Indonesia yang bukannya menunjukkan hasil yang tidak
menggembirakan. Boleh dibilang upaya penerapan GLS, belum berhasil meningkatkan
nilai PISA terutama dalam kemampuan membaca siswa. Melihat review yang dibuat
siswa, tidak heran saya kalo nilai PISA kita jeblok seperti itu. Saya juga
kagum dengan hasilnya yang menurut saya bisa mewakili kondisi Indonesia secara
keseluruhan. Bayangkan, siswa kami tidak ada yang jadi sampel tes PISA tersebut
tapi hasilnya kurang lebih sama (dalam hal membaca, untuk yang lain saya tidak
bisa menilai).
Sebenarnya sekolah kami sudah berada di "jalan yang benar" dalam upaya meningkatkan kemampuan membaca. Kami menetapkan target dan membuat
sistem yang memaksa target itu harus terlaksana. Namun dalam pelaksanaanya,
saya kadang merasa sendirian. Sekolah membuat target yang lebih tinggi setelah
melihat evaluasi pelaksanaan Reading passport di tahun sebelumnya. Tapi
ternyata pada pelaksanaannya tidak ada yang mendukung. Seharusnya ini jadi
concern Guru bahasa (Indonesia) tapi ternyata review yang jauh dari target
tetap diterima. Tidak juga ada upaya memotivasi siswa untuk membaca dan
mengerjakan ini sejak awal (tidak di akhir-akhir waktu seperti ini). Dan entah
apakah diperiksa atau tidak isinya.
Jadi maaf saja ya anak-anak kalau saya tidak dengan mudah meloloskan reviw yang
kalian buat. Kalo saya terima saja, kapan kita akan jadi lebih baik? Kalian
pasti bisa lebih baik, Cuma cenderung mau gampang aja. Tugas kami membuat
kalian mencapai potensi terbaik kalian. Literasi itu basic skill yang membuka
pintu untuk keterampilan lain yang diperlukan untuk bisa bertahan di abad ini.